Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bima. |
Menurut Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Bima ini, Ketua BPIP telah galga paham soal toleransi. Padahal Undang-Undang Dasar telah memberikan kemerdekaan kepada masing-masig agama untuk mendoakan keselamatan bagi sesama, yang merupakan wujud toleransi sebenarnya.
Dikatakannya, usulan Salam Pancasila sebagai salam nasional, yang akan mengganti ucapan salam Umat Islam yang terbiasa mengucapkan Assalamualaikum karena alasan toleransi sangat tidak tepat.
“Kecaman ini disampaikan bukan kami anti terhadap Pancasila, tapi kami anti terhadap konstruksi cara pikir Ketua BPIP yan tidak paham soal toleransi kehidupan antara umat beragama dalam kerangka Pancasila,” tandas Kaharuddin di Bima, kemarin.
Kaharuddin juga menilai Ketua BPIP mengalami krisis pengetahuan soal integralisasi agama dan Pancasila dalam bingkai ke-Indonesiaan. “Oleh karena itu, Ketua BPIP tidak layak diposisikan sebagai pembina idelogi,” katanya.
Dikutip dari Liputan6.com, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengklarifikasi mengenai pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi yang ditafsirkan berniat untuk mengganti salam Assalamualaikum dengan Salam Pancasila.
Menurut Direktur Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Aris Heru Utomo, maksud ucapan Kepala BPIP itu tidak sebagaimana yang diartikan banyak orang saat ini.
Melalui keterangan tertulis yang diterima pada, Sabtu (22/2/2020), Aris menyampaikan, BPIP tidak pernah mengusulkan penggantian Assalamualaikum dengan Salam Pancasila. Yang disampaikan adalah mengenai kesepakatan-kesepakatan nasional mengenai tanda dalam bentuk salam dalam pelayanan publik, dalam kaitan ini kesepakatannya adalah Salam Pancasila.
Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan, kata Aris diperkenalkan untuk menumbuhkan kembali semangat kebangsaan serta menguatkan persatuan dan kesatuan yang terganggu karena menguatnya sikap intoleran.
Dia menyebut, Salam Pancasila pertama kali dikenalkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP di hadapan peserta Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor tanggal 12 Agustus 2017.
Salam Pancasila dilakukan dengan mengangkat lima jari di atas pundak dengan lengan tegak lurus. Makna mengangkat kelima jari di atas pundak adalah sebagai simbol penghormatan seluruh elemen masyarakat terhadap lima sila Pancasila.
“Penghormatan dan pelaksanaan sila-sila mesti dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat, mulai dari pejabat negara hingga seluruh anggota masyarakat," ungkapnya.
Salam Pancasila sendiri diadopsi dari Salam Merdeka yang diperkenalkan Bung Karno melalui Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945 dan berlaku 1 September 1945. Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 tersebut hingga kini belum pernah dicabut.
“Salam Pancasila sangat sejalan dengan makna dari kata 'salam' itu sendiri. Kata 'salam' memiliki arti sangat luas dan dalam, tidak hanya berarti keselamatan tetapi juga 'perdamaian'. Salam berarti kedamaian yang dalam arti luas, berarti 'kita bersaudara', 'kita dalam kedamaian' yang sama sekali membuang jauh unsur-unsur kebencian atau penolakan atas segala apapun yang telah kita sepakati," kata Aris menjelaskan.
Dia menerangkan, pada 1 September 1945, Bung Karno, sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia', mengatakan, "aku menetapkan supaya setiap warga negara Republik memberi salam kepada orang lain dengan mengangkat tangan, membuka lebar kelima jarinya sebagai pencerminan lima dasar negara dan meneriakkan, merdeka!". [B-19]